Archive
Kebakaran Kendaraan Listrik dan Baterai Lithium-Ion: Tantangan Baru Bagi Pemadam Kebakaran

Sebuah mobil listrik melaju mulus di jalanan kota—hening, modern, ramah lingkungan. Tapi dalam sekejap, ketenangan berubah menjadi kepanikan. Api menyala dari bawah kendaraan. Asap tebal mengepul. Alarm kendaraan meraung. Dan yang lebih menakutkan: api itu bukan kebakaran biasa. Itu adalah kebakaran baterai lithium-ion, sebuah kebakaran yang bisa menyala kembali berjam-jam atau berhari-hari setelah dianggap padam. Mengapa Kebakaran Kendaraan Listrik Berbahaya?
Penyelidikan dari National Transportation Safety Board (NTSB) mengungkapkan betapa rumitnya tantangan yang dihadapi petugas pemadam:
- Risiko sengatan listrik yang bisa mematikan.
- Thermal runaway, reaksi berantai tak terkendali yang membuat baterai memanas sendiri (self-heating) dan mengakibatkan terjadinya penyalaan kembali.
- Gas yang sangat beracun yang terlepas di udara (hidrogen fluorida (HF), hidrogen sianida (HCN), karbon monoksida (CO), formaldehida, dan metana, beserta senyawa organik volatil (VOCs).
- Reignition, api yang kembali menyala berjam-jam bahkan berhari-hari setelah padam.
- Energi tersisa (stranded energy) yang dapat memberikan sengatan listrik, menyebabkan penyalaan kembali, dan melepaskan gas-gas beracun.
Taktik Pemadaman Berdasarkan Riset Terkini
Fire Protection Research Foundation dan NFPA telah melakukan eksperimen langsung untuk menguji strategi pemadaman kebakaran EV. Hasilnya adalah sebagai berikut:
- Air tetap menjadi media pemadam paling efektif, tetapi posisi baterai, yang biasanya berada di bawah kendaraan, menyulitkan proses pendinginan langsung.
- Kebakaran dapat menyala kembali beberapa kali, sehingga tim harus tetap siaga di lokasi lebih lama.
- Solusi alternatif mulai dicoba: beberapa tim tanggap darurat menggunakan EV (Electric Vehicles) Fire Blanket atau merendam kendaraan dalam tangki air untuk mencegah terjadinya penyalaan kembali (reignition).
Di Jerman, pemadam kebakaran menggunakan “S-TYPE Blanket” berbahan kain silika tahan panas hingga 1600°C. Ada juga versi “X-TYPE Blanket”, yang bisa digunakan berkali-kali. Selimut ini dipakai untuk “membungkus” kendaraan, menahan panas, membatasi oksigen, dan mencegah kebakaran ulang.
Sementara di Belanda, mereka menggunakan ultra-high-pressure extinguishing lance—peralatan khusus dengan nozzle yang menyemprotkan (“menyuntikkan”) air langsung ke dalam sel baterai, untuk menghentikan thermal runaway dari dalam.
Pandangan dari Fire Safety Research Institute (FSRI)
FSRI menekankan bahwa pendekatan pemadaman tradisional sering kali tidak efektif untuk kebakaran EV. Dalam eksperimen mereka, mereka menemukan bahwa “Pendekatan pemadaman tradisional tidak begitu efektif pada kebakaran kendaraan listrik dibanding dengan pemadaman pada kendaraan dengan bahan bakar konvensional.” – Adam Barowy, Insinyur Riset, FSRI
Kesenjangan Panduan dan Tantangan Ke Depan
NTSB juga menemukan bahwa banyak panduan respons darurat dari produsen kendaraan tidak memadai, sehingga petugas pemadam sering kali tidak memiliki instruksi yang jelas saat menangani kebakaran EV. NTSB merekomendasikan pembaruan standar keselamatan nasional dan pelatihan yang lebih baik untuk petugas tanggap darurat. Pemadam kebakaran harus beradaptasi dengan taktik yang lebih cerdas, alat yang lebih canggih, dan pemahaman yang lebih dalam. Seperti yang dikatakan FSRI:
“Pemahaman yang lebih baik tentang perilaku kebakaran EV akan menghasilkan pendekatan pemadaman yang lebih efektif, agar keselamatan publik tidak menjadi korban inovasi teknologi.”
Artikel ini ditulis oleh Andris Mahulette (andrismahulette@gmail.com), Fire Service Veteran and Lifelong Learner, dengan semangat untuk terus berbagi ilmu dan pengalamannya untuk Indonesia. Perjalanan pendidikannya membawanya hingga ke Kirkwood Community College, di Amerika Serikat, dimana ia mempelajari Emergency Management – Fire Science—yang membentuk dedikasi dan wawasan yang terus ia bagikan hingga hari ini
Perencanaan Pra-Kebakaran: Perhitungan Kebutuhan Foam

Bayangkan ini: sebuah tangki penyimpanan bahan bakar berkapasitas ratusan ribu liter tiba-tiba terbakar. Api menjilat ke langit, asap hitam membumbung tinggi, dan panas yang meradiasi bisa dirasakan dari ratusan meter jauhnya. Bukan hanya kebakaran yang besar dan tangki yang terancam berpotensi untuk meledak, tetapi secondary containment (dinding penahan cairan) yang seharusnya melindungi atau mencegah terjadinya tumpahan keluar justru menjadi “kolam bahan bakar yang terbakar.” Dalam kondisi seperti ini, waktu berjalan cepat: kalau foam tidak diaplikasikan dengan tepat dan dalam jumlah yang cukup, maka pemadaman kebakaran akan gagal. Di sinilah peran foam Kelas B menjadi penentu. Namun, pertanyaannya:
Apakah kita tahu berapa banyak foam yang dibutuhkan untuk benar-benar menutup dan memadamkan permukaan bahan bakar di containment itu?
Banyak sekali tim pemadam kebakaran yang sudah akrab dengan foam, tapi banyak yang tidak terbiasa dengan menghitung kebutuhan foam dengan tepat. Padahal, salah perhitungan bisa berarti supply foam habis sebelum api terkendali—dan situasi berakhir dengan bencana. Artikel ini membahas langkah-langkah perhitungan foam dengan cara sederhana namun akurat, mengacu pada prinsip yang diperkenalkan David F. Peterson, seorang veteran pemadam kebakaran dengan pengalaman 35 tahun di dunia Fire Service, dan mantan Fire Chief di kota Wisconsin,
Empat Faktor Penting dalam Perhitungan Foam:
1. Luas Area Permukaan Cairan
Luas Area mengacu pada luas permukaan tumpahan, biasanya dihitung dalam satuan square feet (ft²). Cara menghitungnya sederhana: panjang × lebar dari tumpahan. Jika bentuknya lingkaran, Anda bisa memperkirakan panjang dan lebarnya untuk mendapatkan angka perkiraan. Untuk perhitungan yang lebih tepat (meski tetap bukan ilmu pasti), luas lingkaran bisa dihitung dengan rumus (πr²) jika bentuk containment bundar.
2. Critical Application Rate (CAR)
Critical Application Rate (CAR) adalah laju aliran minimum foam yang sudah jadi yang harus diaplikasikan per square foot untuk memadamkan kebakaran cairan mudah menyala/terbakar. Nilai CAR ini ditetapkan melalui serangkaian pengujian ekstensif yang dilakukan oleh National Fire Protection Association (NFPA).
Untuk hydrocarbon fuels (bensin, solar, minyak tanah, dll) CAR ditetapkan sebesar 0,1 gpm/ft².
Untuk polar liquids (seperti alkohol, asam sulfat, aseton, dll), CAR ditetapkan sebesar 0,2 gpm/ft².
3. Eduction Rate (ER)
Persentase campuran konsentrat foam dengan air.
Hydrocarbon fuels: 3%
Polar liquids: 6%
4. Safety Factor (Durasi 15 menit minimum)
Sesuai NFPA 11 (2021), aplikasi foam harus dapat dipertahankan minimal 15 menit untuk memastikan bahwa api benar-benar terkendali dan tidak menyala kembali.
Rumus Perhitungan:
Gunakan rumus dasar berikut:
Luas Area × CAR × ER × 15 = Kebutuhan Konsentrat Foam (gallon)
Contoh Kasus: Tangki Bahan Bakar dengan Secondary Containment
Skenario: Sebuah tangki penyimpanan solar mengalami kebakaran, Tangki dikelilingi bundwall (secondary containment) berukuran 100 ft × 100 ft, Permukaan bahan bakar dalam containment ikut terbakar. Hitung kebutuhan foam: Luas Area: 100 × 100 = 10.000 ft², CAR untuk hydrocarbon: 0.1, ER: 0.03, Durasi: 15 menit Perhitungan: 10.000 × 0.1 × 0.03 × 15 = 450 gallon konsentrat foam
Rumus Cepat (Estimasi yang bisa dipakai di lapangan ketika sudah terjadi kebakaran)
Untuk mempermudah pengambilan keputusan di situasi kebakaran yang sudah terjadi dan/atau pada skenario dimana perhitungan jumlah kebutuhan foam belum ditetapkan dalam sebuah Standard Operating Procedures (SOP) untuk fasilitas tangki penyimpanan bahan bakar tertentu, maka rumus sederhana di bawah ini bisa digunakan:
- Hydrocarbon fuels:
Luas Area ÷ 20 = kebutuhan gallon foam
Contoh: 10.000 ÷ 20 = 500 gallon foam - Polar liquids:
Luas Area ÷ 5 = kebutuhan gallon foam
Contoh: 10.000 ÷ 5 = 2.000 gallon foam
Hasil perhitungan di atas cukup mendekati angka detail dan dapat dijadikan acuan cepat bagi On-Scene Incident Commander dalam mengambil keputusan di lapangan. Baik pada skenario tumpahan bahan bakar maupun kebakaran yang sudah terjadi akibat tumpahan tersebut, perhitungan ini membantu menentukan berapa banyak konsentrat foam yang perlu disiapkan untuk pemadaman. Tujuannya adalah untuk memastikan lapisan foam mampu menutupi area permukaan dan memutus suplai oksigen, sekaligus menekan potensi risiko bahan bakar agar tidak mencapai konsentrasi Lower Explosive Limit (LEL) yang dapat memicu terjadinya kebakaran.
Artikel ini ditulis oleh Andris Mahulette (andrismahulette@gmail.com), Fire Service Veteran and Lifelong Learner, dengan semangat untuk terus berbagi ilmu dan pengalamannya untuk Indonesia. Perjalanan pendidikannya membawanya hingga ke Kirkwood Community College, di Amerika Serikat, dimana ia mempelajari Emergency Management – Fire Science—yang membentuk dedikasi dan wawasan yang terus ia bagikan hingga hari ini
Busa Pemadam AFFF Membawa Ancaman Kesehatan

Selama puluhan tahun, Aqueous Film-Forming Foam—atau AFFF—menjadi senjata andalan untuk memadamkan kebakaran bagi para pemadam kebakaran di seluruh dunia. Bayangkan kobaran api dari jet fuel di landasan pacu bandara yang begitu besar, kebakaran bahan kimia di pabrik-pabrik besar, atau ledakan tangki bahan bakar. Bagi para pemadam kebakaran yang menggunakannya, AFFF adalah game-changer—cepat, efektif, dan dapat diandalkan untuk memadamkan api. Semprotkan saja ke api yang melibatkan bahan bakar yang terbakar (fuel fires), dan dalam hitungan detik, kebakaran itu akan terselimuti busa putih tebal yang mematikannya. Lapisan seperti selimut busa AFFF membentuk penghalang di atas permukaan bahan bakar yang terbakar, yang memutus suplai oksigen ke api, membuatnya padam. CEPAT. EFEKTIF. SANGAT DAPAT DIANDALKAN. Tapi ada sisi gelap yang tidak pernah ditulis di dalam buku panduan pelatihan.
AFFF bukan sekadar campuran sabun dan air. Cairan ini sarat dengan bahan kimia PFAS (Polyfluoroalkyl Substances)—yang dikenal sebagai “bahan kimia abadi” karena tidak bisa terurai secara alami di lingkungan maupun di tubuh manusia. Begitu masuk, bahan kimia ini akan bertahan—menumpuk di darah, hati, dan jaringan tubuh—tahun demi tahun. Dampaknya? Bukan sekadar kemungkinan. Kita bicara soal kanker ginjal, kanker testis, kanker prostat, penyakit tiroid, kerusakan hati, dan gangguan sistem kekebalan tubuh. Penyakit-penyakit nyata, yang menimpa orang-orang yang selama ini justru bertugas melindungi nyawa orang lain.
Siapa yang Berisiko Terpapar?
● Petugas pemadam kebakaran/penyelamat yang bekerja di landasan udara.
● Pemadam kebakaran di kota, daerah, maupun kawasan industri yang menggunakannya.
● Veteran militer penerbangan, yang menggunakannya.
● Warga sipil yang tinggal di sekitar pangkalan militer atau fasilitas yang air minumnya terkontaminasi PFAS.
Banyak penelitian selama bertahun-tahun telah mengkonfirmasi hubungan antara paparan AFFF dan penyakit serius. Bahan kimia PFAS sangat stabil—tahan panas, air, dan degradasi kimia. Bagus untuk memadamkan api bahan bakar jet (jet fuel). Tapi sangat buruk jika masuk ke tubuh kita, dan akan bertahan selama puluhan tahun. Bahkan Centers for Disease Control & Prevention (CDC) dan Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika kini secara terbuka memperingatkan bahaya PFAS, dan peraturan-peraturan terkait saat ini mulai dibuat. Sayangnya, bagi banyak orang, peringatan ini sudah terlambat.
Ribuan orang di Amerika kini menggugat secara hukum—veteran, pemadam kebakaran, dan warga sipil di Amerika—menuduh perusahaan seperti 3M, DuPont, Chemours, Tyco Fire Products, dan Kidde-Fenwal mengetahui risiko ini namun tetap menjual AFFF. Gugatan ini bukan sekadar soal ganti rugi uang—ini soal membongkar kebenaran yang terlalu lama terkubur di balik bisnis.
Jika Anda atau orang yang Anda kenal pernah bekerja dengan AFFF, ini bukan sekadar berita atau artikel biasa—ini bisa jadi masalah pribadi. Bahan kimia ini tidak peduli jika kebakaran yang Anda tangani terjadi 30 tahun lalu. Mereka bisa saja masih ada di dalam tubuh Anda, bekerja secara diam-diam. Ini lebih dari sekadar kisah pemadam kebakaran. Ini kisah kesehatan publik. Kisah tentang kepercayaan, tanggung jawab, dan harga yang harus dibayar ketika alat penyelamat nyawa ternyata menyimpan rahasia yang mematikan.
Jika Anda ternyata masih menggunakan AFFF untuk operasi pemadaman kebakaran dan/atau operasi terkait lain yang menggunakannya, maka Anda wajib melakukan dekontaminasi langsung di lokasi kejadian untuk mengangkat seluruh sisa AFFF dari kulit Anda–termasuk Alat Pelindung Diri (APD) yang Anda gunakan. Jangan lupa juga untuk dekontaminasi peralatan Anda di lokasi kejadian, BUKAN DI STASIUN PEMADAM KEBAKARAN ATAU DI KANTOR. Segera setelah proses dekontaminasi selesai dilakukan, jika memungkinkan, gunakanlah pakaian yang bersih. Tindakan cepat ini sangat penting untuk mengurangi risiko paparan bahan berbahaya ini, yang dapat mengancam kesehatan Anda.
Artikel ini ditulis oleh Andris Mahulette (andrismahulette@gmail.com), Fire Service Veteran and Lifelong Learner, dengan semangat untuk terus berbagi ilmu dan pengalamannya untuk Indonesia. Perjalanan pendidikannya membawanya hingga ke Kirkwood Community College, di Amerika Serikat, di mana ia mempelajari Emergency Management – Fire Science—yang membentuk dedikasi dan wawasan yang terus ia bagikan hingga hari ini.