Refleksi Seorang Guru
Dalam satu seminar Guru yang saya ikuti, ditampilkan satu slide film mengenai seorang Guru yang mengajar di pedalaman tanpa dibayar sepeserpun dan seringkali Guru tersebut mengeluarkan uang pribadi untuk kepentingan anak muridnya. Bahkan ditampilan ruangan kelas yang masih berbau tanah dan ayam pun ikut berada di kelas dengan kursi yang lapuk. ( Mungkin bisa diusulkan untuk ikut bedah rumah RCTI ).
Pribadi, saya mengacungkan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap pengabdian Guru tersebut, akan tetapi di sisi lain saya sebagai seorang Guru juga berontak ?
Pemberontakan saya terletak pada profesi Guru yang sering dipandang dengan sebelah Mata. Guru adalah profesi prestisius yang sama seperti profesi yang lain, i.e insinyur, dokter, pengacara, dll. Guru bekerja secara professional dan mendapatkan penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Bagaimana mungkin seorang Guru mengajar anak murid tanpa bayaran sedangkan di rumah sudah menunggu kebutuhan istri dan anak untuk membeli susu dan beras ?
Guru di awal cerita ini bukanlah Guru melainkan Misionaris yang bekerja dan mengabdi tanpa mengharapkan balas uang atau jasa. Guru yang sebenarnya adalah sama dengan profesi lain dengan tuntutan profesionalisme dan juga balas uang atau jasa yang sepadan dengan kompetensinya.
Adalah salah satu pandangan lama ketika Guru dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dengan dimunculkannya lagu “Terpujilah Wahai Engkau..Ibu Bapak Guru ..( Hymne Guru )”. Kelirumorologi ( pinjam istilah bos Jamu Jaya Suprana ) mungkin istilah yang tepat untuk pandangan ini. Guru adalah Pahlawan dengan Jasa yang harus dibalas budi dengan penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Sudah saatnya profesi Guru dipandang dengan Dua Mata dimana Guru ditempatkan dalam satu profesi prestisius sama dengan yang lain dengan tuntutan profesionalisme dan kompetensi yang tinggi.